Skip to main content

Bagaimana Video Games Hampir Menghancurkan Hidupku

Bagaimana Video Games Hampir Menghancurkan Hidupku

Oleh: Tengku M. Laksamana

~Tolong di share ya~

Tulisan ini sengaja saya buat sebagai social awareness akan bahayanya video games. Saya sebagai mantan video games addict tahu persis bahaya ini dan tahu apa yang saya bicarakan. Kecanduan video games sangat berbahaya, bisa merusak tatanan keluarga dan kehidupan secara umum. Tetapi sampai sekarang, kecanduan video games belum dianggap sebagai penyakit sehingga belum ada treatment khusus secara medical. Sehingga orang-orang kesusahan saat ingin sembuh dari kecanduan video games. Begitupula bagi keluarga yang ingin anggota keluarganya sembuh dari kecanduan ini tidak tahu harus kemana mereka mencari, padahal mereka-mereka ini di Amerika Serikat  Bagaimana dengan di Indonesia, lebih besar kemungkinan para addict tidak mendapat perhatian apapun dan tidak dimengerti siapapun, hingga mereka kembali ke dunia virtualnya untuk melepas penat melarikan diri dari kenyataan. Terus menerus lingkaran setan ini berputar hingga video games addict kehilangan semua yang mereka miliki hingga tidak memiliki apapun bahkan video games-nya.

Bahayanya kecanduan video games adalah orang tidak tahu bahwa dirinya kencanduan sampai semua sudah terlambat. Kemudian kecanduan video games dianggap remeh dibanding kecanduan substansi seperti alkohol atau narkoba karena tidak tampak secara lahir; peremehan ini bisa menyebabkan tingkat kecanduan yang akut baru terdeteksi, bagaikan kanker di stadium 4. Bahayanya video games karena ia merangsang otak untuk mengeluarkan zat dopamine yang berlebihan (seperti mengkonsumsi heroin), membuat si penderita terus dalam kesenangan saat bermain hingga tidak sedikit kasus dimana sipenderita sampai ditinggal anak dan istri karena game dan ia tetap terus bermain tanpa merasa bersalah. Berbahayanya video games adalah membuat kita procastinating (menunda-nunda) malam demi malam karena terus bermain. Berbahayanya video games juga bisa dijadikan sebagai pelarian dari kenyataan atau masalah kehidupan, persis alkohol, maka apa yang akan terjadi jika seseorang tidak menyelesaikan permasalahannya hingga terus bertumpuk karena lari ke video games?

Mungkin anda yang membaca berfikir, masa sih ada kecanduan video games? Jika anda bukan gamer maka kemungkinan anda tidak tahu apa yang video games bisa tawarkan sebagai kesenangan sementara. Maka tulisan ini untuk social awareness itu.

Juga tulisan ini untuk anda para orang tua, yang mana anaknya kemungkinan sudah terkespos oleh video games di smartphone atau tablet. Jangan bangga dengan hal itu, justru takutlah kalau-kalau mereka akan kecanduan.

Begitupula tulisan ini khususnya untuk anda yang kecanduan video games, dan mencari jalan untuk keluar. Semoga tulisan ini sedikit banyak bisa membantu karena akan saya muat tips untuk terbebas dari racun yang kita sebut video games.

Tulisan ini bukan untuk anda yang menganggap video games tidak mengapa jika bisa dimainkan secara moderat. Jika anda bisa mengimbagi aktifitas lain dengan video games ya bagus untuk anda, tetapi jangan sampai standar itu dijadikan patokan. Analoginya seperti alkohol, berapa banyak yang meminum alkohol tetapi berapa persen yang hanya menjadi alkoholik. Kita baru akan merasakan buruknya addiction (alkohol atau video games) jika itu menimpa kita atau menimpa orang yang kita sayangi.

Sengaja saya tulis ini karena betapa mudah video games sampai ketangan kita atau anak-anak kita di zaman sekarang. Cukup dengan smartphone, maka kita bisa main online ataupun offline, download game baru yang tersedia setiap saat. Jika dulu kami (90's kids) harus membeli konsol game dan merengek untuk dibelikan kaset game yang tidak murah, sekarang semua bisa didapat dengan serba gratis. Maka apa yang terjadi dengan saya dan 90's kids lainnya yang "beruntung" memiliki video games ketika kecil sampai kecanduan, bisa terjadi pula dengan generasi berikut dengan kuantitas yang berlipat ganda disebabkan mudahnya video games didapat.

Tulisan ini cukup panjang (10 halaman) dan saya bagi dengan beberapa bagian: 1. Pengalaman saya, 2. Pengalaman orang lain, 3. Ciri-ciri kecanduan video games, 4. Kasus kematian karena video games, 5. Cara berhenti dari video games, 6. Penutup. 

Tulisan ini juga dimuat http://whyyemen.blogspot.com/2017/06/bagaimana-video-games-hampir.html?m=1

1. Pengalaman Saya.

Saya masih berumur 6 tahun saat itu, saat ayah saya pulang kerja dan membawa SEGA Megadrive, saat itulah saya terkespos dengan video games dan detik itulah pelan-pelan kecanduan bermain menghinggapi diriku hingga 25 tahun lamanya. Game pertama saya adalah Captain America, game kedua saya adalah Jurassic Park. Saya hanya bisa bermain di hari Sabtu dan Minggu ketika libur sekolah, dan itu sudah cukup untuk menjadikan saya maniak game sepanjang sejarahku bersekolah. 

Ingatan saya sebelum adanya video games adalah bermain di luar rumah bersama teman-teman, naik sepeda, atau sekedar jalan-jalan sendiri menyusuri perumahan. Tetapi setelah ada game, maka ingatan saya dan momen-momen spesial hanya terkait video games. Misalnya kelas 2 SD, saya berkelahi dengan anak kelas 5 SD cuma karena berdebat mana game yang lebih bagus Fatal Fury atau Dragon Ball Z. Atau saya jadi tempat bertanya teman-teman untuk mengeluarkan jurus fatality di Mortal Kombat.

Setiap hari saya sekolah, tetapi pikiran saya sudah menunggu hari Sabtu agar bisa melanjutkan game. Ketika anak-anak lain ikut les bulutangkis, atau ikut klub sepak bola di hari libur, saya hanya menempelkan wajah di depan screen untuk menyelesaikan game Street Rage atau Golden Axe. Akhirnya fisik saya lemah, dan saya paling tidak bisa olah raga di angkatan sekolah. Tidak bisa bulu tangkis, sepak bola, bahkan kasti. Saya juga tidak bisa lari jauh, karena baru seratus meter sudah ngos-ngosan.

Ketika SD memang masalah ini tidak terlalu tampak, tetapi ketika masuk SMP dan SMA maka efek dari bermain game setiap weekend mulai muncul. Ketika anak laki-laki seumuran sudah kelebihan testosterone dan hanya bercerita tentang perempuan atau otomotif atau bola, maka saya tidak bisa ikut nimbrung karena yang saya sukai hanya bicara tentang game. Khususnya ketika kelas 3 SMP saya pindah sekolah ke kota lain, maka hampir-hampir saya tidak bisa berkomunikasi dengan teman-teman baru ini (ciri-ciri gamer addict: kesusahan bersosialisasi), hingga akhirnya satu teman bertanya tentang "tau Harvest Moon?", maka dialah jadi teman terbaikku di sekolah itu sampai kuliahpun bersama-sama.

Ketika SMA, masalah ini makin menjadi-jadi. Saya tumbuh menjadi pemuda yang lemah, tidak suka olahraga, tidak main musik, tidak mengerti otomotif. Minatku hanya game, game dan game. Jika saya bercerita maka saya cuma cerita tentang game atau tentang khayalan-khayalan tingkat tinggi yang sedikit sekali teman yang bisa memahami. Nilai sekolah saya juga buruk, pada titik ini saya sangat membenci sekolah (ciri-ciri gamer addict, ia menganggap sekolah adalah sia-sia). Tapi entahlah sempat-sempatnya saya jadi wakil ketua OSIS dan ikut Paskibra, padahal hati ini tercabik ingin segera pulang dan main game. 

Saya hampir gak pernah hang-out sama teman-teman, dan acara-acara spesial sekolah saya lewati begitu saja. Seperti perpisahan kelas 3 SMP, saya tidak ikut karena saya anggap sia-sia. Atau perpisahan kakak-kakak kelas, juga saya tidak ikut karena saya anggap sia-sia. Lalu bagaimana waktu saya prom night?

Saya gak pernah prom night, karena waktu kelas 2 SMA ada iklan bahwa bisa kuliah di Malaysia untuk anak-anak di tahun ke-11. Jadi saya tidak perlu selesai kelas 3 SMA untuk bisa kuliah. Karena saya benci sekolah, dan saya pingin main game setiap hari, saya ambil kesempatan itu. Sama sekali bukan karena memikirkan masa depan! Bahkan saya membawa CD installer game online pertama di Indonesia yaitu Nexia, biar saya bisa lanjut main di sana. 

Saat kuliah kecanduan game saya makin dipupuk. Jika dulu saya hanya bisa main game saat weekend, di kuliah saya bisa main setiap hari setiap waktu. Siapa coba yang mau marah? Saya masuk kuliah IT berfikir agar bisa lebih dekat dengan game, but boy can't I be more wrong. Ternyata kuliah IT sangat sulit bagi saya, pertama kali belajar C programming saya kira otak saya terbakar. Lalu apa yang saya lakukan agar bisa memahami C? Saya tidak melakukan apa-apa, karena saya melarikan diri dari kenyataan dan tanggung jawab menuju pelukan hangat Elder Scrolls: Morrowind. Berpura-pura jadi jagoan yang lompat sana sini berjam-jam untuk menaikkan skill acrobatics lebih menyenangkan daripada jadi jagoan beneran yang belajar programming dan menguasainya.

Untungnya saya masih bisa lulus, pas-pasan. Dua teman saya yang gamer terpaksa drop out dari kuliah karena benar-benar menghabiskan waktunya bermain game online Ragnarok. Tidak mandi, tidur sebentar, hanya makan mie instan setiap hari, jarang ke kelas, demi bermain bersama teman-teman virtualnya di dunia Ragnarok melawan Baphomet atau ikut perang guild. Masih untung, masih untuung saya tidak teracuni game online, karena kasus-kasus terburuk kecanduan video game adalah karena game online.

Akhirnya saya lulus dengan pas-pasan. Karena saya hanya mencintai video games, dan belajar karena terpaksa maka ketika lulus, lolos juga ilmu yang saya pelajari. Intinya kalau ditanya dulu kuliah belajar apa, saya tidak bisa jawab dengan baik karena memori saya lebih kepada video games. Sebagai gambaran, jika kuliah dari jam 8-12, maka saya main game dari jam 12 siang sampai jam 9-12 malam, yaitu 7-10 jam sehari! Tugas-tugas dikerjakan dengan sistem kebut semalam, ujian ya belajar di malam sehari sebelumnya. Untung masih bisa lulus dan entah kenapa saya berhasil masuk kerja disalah satu bank terbesar di Indonesia, bahkan masuk Management Trainee-nya. Padahal saya sangat berhak untuk tidak mendapat kerja karena saya pada dasarnya tidak bisa apa-apa. Alhamdulillah Allah masih sayang dengan saya.

Ketika kerja di umur 22 baru saya mulai sedikit berubah, saya mulai jogging rutin dari yang 100 meter ngos-ngosan, sampai bisa lari 5 kilometer tanpa berhenti. Saya juga ikut gym di gedung kantor setiap pulang kerja, latihan nembak pistol angin ketika hari Sabtu dan memanah atau latihan Kendo ketika hari Minggu. Tetapi tetap saja setelah pulang saya langsung ke depan PS3 dan mencoba game baru yang baru saya beli hasil dari gaji saya. Di hari kerja setiap hari saya sampai rumah jam 10 malam, lalu main game sampai jam 11 atau 12 malam sebelum tidur (satu sampai dua jam sehari). Saat ini saya adalah termasuk orang-orang yang mengatakan, "tidak mengapa game selama bisa seimbang" tanpa menyadari dirinya kecanduan.

Kemudian saya berhenti bekerja dari bank (karena sadar akan riba), lalu saya menikah dan cari kerja di kampung halaman. Karena jalanan tidak macet dan kemana-mana dekat, maka jam 7 malam biasanya saya telah sampai rumah. Berhubung gaji di tempat kerja yang baru ini jauh lebih rendah dan saya sudah punya tanggungan, saya tidak bisa menyalurkan hobby saya seperti menembak, memanah dan gym. Akhirnya waktu yang tersisa saya pakai hanya untuk bermain video games, sekitar 3 atau 4 jam sehari.

Saat itu saya tidak mengerti kenapa istri saya sering marah-marah sampai menangis, apa salahnya melepas penat setelah kerja dengan main game? Tapi di matanya saya sudah tidak berada disisinya 10 jam saat kerja, lalu ketika pulang bukannya bercengkrama tapi mengambil lagi jam-jam tambahan untuk video games. Awalnya saya ikut marah karena diatur-atur dalam menggunakan waktu video games (ciri-ciri addict: dia akan marah jika diminta berhenti bermain) lama kelamaan saya mencoba faham dan berusaha mengurangi hingga 1 jam setiap hari. Kemudian anak pertama lahir, saya berharap dengan kelahirannya akan membuat saya berhenti bermain, tenyata tidak berpengaruh. Tetap saja setiap hari saya bermain. Kalau tidak konsol, ya komputer kalau tidak ya laptop kalau tidak juga ya handphone atau tablet. Tidak jarang jika hari libur jebol juga usaha saya untuk bermain satu jam, dan sangat mudah menjadi 10 jam..

Hingga akhirnya saya muak dengan diri saya sendiri. Saya menyadari bahwa bermain game ini buruk buat masa depan saya dan keluarga. Maka saya ambil jalan yang ekstrim yaitu saya harus keluar dari comfort zone saya ini, dengan pergi ke tempat yang ekstrim agar saya tidak bisa bermain game lagi! Setelah berfikir lama dan menimbang banyak faktor, saya pergi ke Yaman untuk belajar agama pada tahun 2013.

Dititik ini saya sudah muak dengan video game, tetapi saya tidak tahu bahwa diri saya kencanduan jadi saya hanya benci video games dan rindu pada masa yang bersamaan. Untuk sembuh saya harus menyadari bahwa saya kecanduan dan lemah tak berdaya jika dihadapkan dengan game, sehingga bisa 100% menjauhi game walau hanya sekadar main Snake di handphone.

Tahun 2014 saya balik ke Indonesia untuk jemput anak istri ke Yaman, tetapi terjadi masalah di calling visa mereka sehingga kami menunggu 6 bulan tanpa kepastian. Disinilah kecanduan game saya begitu buruk, hampir menghancurkan hidup saya. Setiap minggu yang mengurus visa berkata:"insyaallah minggu depan". Sehingga membuat saya tidak bisa beraktifitas apa-apa. Saya sempat kerja part-time sebulan dan berhenti karena dapat kabar bahwa visa akan jadi besok yang ternyata masih 4 bulan lagi. Alhasil saya stress berat hingga depresi. Berhubung saya tidak punya minat lain selain game, maka saya lampiaskan depresi saya ke dunia virtual belasan jam setiap hari, tapi video games bukannya membantu menenangkan depresi malah menambah. Secara apologetik saya katakan bahwa saya main video games karena depresi. Tetapi kenyataannya adalah, karena video games saya tambah depresi dan karena depresi saya main video games dan karena itu saya tambah depresi dan seterusnya. Bayangkan seorang lelaki umur 28 tahun, pengangguran, dengan istri dan dua anak menghabiskan waktunya hanya bermain game setiap hari! Orang tua saya khawatir, dan saya menjadi sangat kasar kepada siapapun yang komen tentang kegemaran saya bermain game. Tidak boleh ada yang ganggu atau protes. Jika sedang tidak bermain game, maka saya menjadi beringas, uring-uringan, saya menganggap semua orang memandang saya dengan pandangan hina dan saya merasa tidak ada gunanya hidup, bahkan saat itu saya sempat memiliki pemikiran-pemikiran suicidal dan sempat menyakiti diri sendiri. Kemudian enough is enough, saya batalkan permohonan saya ke Yaman, saya jauh-jauh dari game dan pikiran kembali jernih. Jiwa saya kembali tenang. Saya menghabiskan waktu bersama keluarga membuat rancangan bisnis hingga tinggal eksekusi, tiba-tiba dapat kabar kalau visa jadi dan terbanglah saya ke sini bersama keluarga.

Pilihan ke Yaman betul-betul terbaik untuk saya. Saya hanya membawa laptop yang low end, tidak bisa digunakan untuk nge-game. Handphone juga smartphone yang low end. Di Yaman, psikologis saya menjadi membaik. Saya belajar dan belajar dengan sukacita, dan tidak pernah terinfeksi dengan game untuk sekian lama. Saya juga lebih sehat secara fisik, karena lari pagi setiap hari melintasi padang pasir di Maarib dan sekarang berenang di laut Mukalla. Latihan Yoga sampai tubuh saya jauh lebih lentur daripada di zaman remaja. Saya mendapatkan passion, yang tidak pernah saya miliki sebelumnya. Namun karena saya tidak mengetahui bahwa saya adalah seorang addict yang sangat lemah dihadapan video games, rasa haus akan game datang lagi ketika melihat teman-teman bermain. Dimulai dari game kecil-kecilan simulasi Kairopark di android, perlahan-lahan saya mulai kembali bermain ditengah-tengah kesibukan belajar. Sampai tahun lalu (2016) saya rela membeli laptop bekas yang cukup kuat untuk bisa bermain Skyrim, dengan menipu diri saya agar bisa menggunakan program Maktabah Syamilah.

Sekejap saja laptop saya dipenuhi game dari Skyrim, Fallout 4, GTA V, Rome Total War 2, dan belasan CD games lainnya! Sedangkan Maktabah Syamilah diinstall belakangan. Setiap bermain hati saya berkecamuk, sangat merasa bersalah dengan ketidakberdayaan ini, bahkan ketika saya bermain saya menjadi sangat kasar kepada anak dan istri jika mereka mengajak bicara atau meminta sesuatu. Seakan-akan saya kembali lagi dimasa sebelum belajar agama.

Kadang rasa bersalah itu sangat besar, dan sayapun berhenti beberapa bulan, lalu mulai nge-game lagi satu jam satu jam sampai akhirnya bisa 5 jam sehari, sebulan lamanya sampai kembali berhenti. Hal seperti ini terjadi berulang kali, sampai akhirnya di bulan Ramadhan tahun ini (2017) saya mendapatakan pengalaman yang membuka mata dan mendorong saya untuk menulis ini.

Sebelum bulan Ramadhan saya telah menghapus semua game di laptop maupun di handphone dan bertekad untuk tidak menyentuh game lagi. Tetapi di bulan Ramadhan ketika ke masjid, saya sering lihat teman-teman main PES 2017 (Pro Evolution Soccer) di asrama pelajar. Tapi tidak terbesit dipikiran saya untuk ikut bermain karena aslinya saya tidak suka bermain bola, menonton bola, ataupun video game bola. Tetapi karena setiap ke masjid saya tereksposure PES, maka saya pun ikut bertanding satu pertandingan. Kemudian besoknya satu pertandingan, dan esoknya lagi satu pertandingan, sampai akhirnya saya copy PES tersebut ke laptop saya. Untung laptop saya tidak kuat untuk main PES. Saya tidak puas, karena sekarang saya lapar ingin main game. Lalu saya menginstall game android Anime Studio Story buatan Kairopark dan bermain di handphone, kemudian saya googling game simulasi pemain bola dan gabung game online Footstar. Saya juga copy game lawas Need for Speed Hot Pursuit, dan mulai memainkannya di laptop.

Tidak sampai dua hari kegilaan game hampir kembali, istri saya mengingatkan tekad sebelum bulan Ramadhan. Saya sangat kecewa dengan diri saya, dan googling "How to quit playing video games", hasil pencarian sungguh mengejutkan (dan mengerikan). Begitu banyak orang-orang seperti saya yang kecanduan video games, bahkan cerita mereka jauh lebih parah dari cerita saya ini.

Dari googling tersebut saya mengetahui bahwa saya kecanduan video games, dan saya pelajari bagaimana cara berhenti total. Mengetahui penyakit saya ini maka saya pun pede tidak akan terjatuh ke racun video games lagi. Sesaat setelah keyakinan ini, tiba-tiba di email saya muncul berita bahwa pemain bola virtual saya di game Footstar akan bertanding untuk pertama kalinya, betul-betul the moment of truth, dan saya berhasil memilih unsubscribe dan melupakannya.

Julius Caesar menangis ketika berulang tahun yang ke-32 di depan makam Alexander the Great karena ia merasa diumur segitu belum bisa menguasai dunia. Sedangkan saya menangis di depan layar ini menulis, diumur 31 saya masih belum bisa menguasai diri saya sendiri.

2. Pengalaman orang lain

Di bagian ini saya akan memuat secara ringkas pengalaman-pengalaman orang lain juga beserta link-nya untuk dibaca lebih jauh.

a. Andrew Doan, MD, PhD, dokter bedah mata dan professor, ia mulai bermain game diumur 24 tahun saat masih mengambil sarjana kedokteran dan langsung kecanduan. Ia bermain Starcraft 7 sampai 14 jam sehari disela-sela kesibukannya belajar kedokteran. Ia terkena penyakit wasir yang parah karena kelamaan duduk, dan Carpal Tunnel Syndrome akibat memegang mouse terlalu lama. Hampir kehilangan tangan bedahnya karena syndrome tersebut, tetapi ia terus bermain. Bertahun-tahun ia bermain sampai penyakit-penyakit itu makin dominan di tubuhnya, ia tetap bermain. Ia ditinggal istri dan anaknya, dan ia tetap bermain. Tetapi hebatnya ia tetap lulus kuliah dan menyelesaikan master degree walau nge-game 100 jam perminggu. Kemudian ia dan istri bersepakat tetap ke gereja bersama-sama untuk kebaikan si anak, selama 4 tahun ke gereja ia masih tetap bermain hingga ketika membaca Bible sebuah ayat yang menyadarkan dia. Ia katakan bahwa, "Yesus selalu melihat kebaikan pada orang lain, sedangkan aku tidak pernah melihat kebaikan pada istriku. Aku selalu berteriak padanya dan mencelanya" karena ilham yang tiba-tiba ini dia pun berusaha berubah, berhenti video games, dan kembali kepada istrinya. Ia menulis buku tentang bahaya kecanduan video games, dan jabatan dia sekarang adalah Head of Addiction and Resilience Research di rumah sakit angkatan laut.

sumber: https://www.promises.com/articles/video-game-addiction/video-game-addiction-a-recovery-story/

b. Jack Perry, seorang pemuda yang saat remajanya sangat berbakat di sepak bola bahkan mendapatkan tempat untuk latihan di klub sepak bola yang semi-pro. Ia pertama kali bermain game ketika umur 8 atau 9 tahun tetapi ketika X-Box live muncul yang membuat ia kecanduan bermain. Ia lebih memilih bermain FIFA secara online daripada sepak bola yang asli, dan mengatakan bahwa game ini lebih menyenangkan daripada sepak bola. Karena kecanduan FIFA ini ia yang asalnya atletis menjadi lemah, malnutrisi, dan depresi. Ia juga mencuri kartu kredit ayahnya untuk X-Box live updates, ketahuan setelah $800 hilang di account bapaknya. Pamannya mengajaknya untuk bertemu terapis. Ketika mendapatkan pertolongan terapis ia sempat curi iPad milik terapisnya dan ia jual untuk bayar kreditor. Untung terapisnya berhasil menyembuhkannya, dan sekarang ia bebas dari kecanduan. Di umurnya yang 21 ia berhasil main bola lagi dan masuk kuliah jurusan olahraga.

http://www.telegraph.co.uk/men/thinking-man/11340423/Confessions-of-a-video-games-addict.html

c. Mike Fahey, penulis di Kotaku.com, dulu di tahun 2000 hidupnya sempurna. Memiliki pekerjaan, pacar dan mobil. Kemudian karena kecanduan game hanya dalam 4 bulan semua yang ia miliki hilang. Dimulai ketika ia pindah apartemen dan bertemu teman serumah barunya, ia diperkenalkan dengan game online Everquest. Pertama kali ia hanya menonton temannya bermain. Kemudian temannya membelikan hadiah Natal diakhir tahun 2000 berupa CD game Everquest untuk diinstall di komputernya. Mulailah mereka bermain bersama. Hanya dalam seminggu, game yang sebelumnya tidak bermakna apa-apa baginya menjadi kehidupannya. Jika ia tidak tidur atau kerja maka ia bermain Everquest. Kecanduan Everquest ini membuatnya lupa sampai membayar kredit mobil, sehingga mobilnya diambil kembali oleh dealer. Kecanduan Everquestnya juga membuat dipecat dari pekerjaan di bulan Februari 2001. Ia menangis, tidak punya pekerjaan, tidak punya mobil, dan pacarnya meninggalkannya. Akhirnya ia balik ke kamarnya dan melanjutkan petualangan di Everquest seakan tidak terjadi apa-apa. Ia pernah mendapatkan kerja lain, tetapi kemudian beberapa bulan berikutnya ia berhenti demi video games. Ia diusir dari rumah kontrakan oleh teman rumahnya sendiri, sahabat yang pernah memperkenalkannya ke Everquest dan kembali ke rumah orang ruanya pada umur 28 tahun dalam keadaan pengangguran, kurus kurang gizi, dan kecanduan video games. Di rumah orang tuanya ia mulai membaik karena memiliki support grup, dan memiliki tanggung jawab. Makin lama video games makin ia lupakan. Hanya dua bulan berikutnya ia dapat pekerjaan di SPBU,  kemudian di tahun 2003 ia kembali ke pekerjaan lamanya dan tahun 2006 ia kerja untuk Kotaku.com

http://kotaku.com/5384643/i-kept-playing--the-costs-of-my-gaming-addiction.

d. Janda-janda WoW (World of Warcraft). Yaitu para wanita yang terpaksa meminta cerai suaminya karena sang suami setelah pulang kerja langsung menuju komputer dan bermain game online World of Warcraft sampai jam 3 pagi lalu tidur dan bersiap kerja dan kemudian bermain lagi setelah pulang kerja sampai jam 3 pagi. Berulang kali setiap hari, setiap waktu, melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah dan suami. Bahkan beberapa kasus, sang laki-laki berhenti kerja demi bermain game online. Tidak jarang ada juga sang wanita yang ketagihan bermain sehingga anak dan rumah tidak terurus.

Sumber: http://gamerwidow.com/

Dan sayangnya masih banyak lagi kasus-kasus lainnya; yang tertarik untuk membaca lebih lanjut silahkan googling "how video games ruined my life" atau "how video games ruined my marriage".

3. Ciri-Ciri Kecanduan Video Games.

Ciri-ciri umum seseorang yang kecanduan:

a. Seseorang memerlukan substansi yang ia kecanduan semakin sering dan semakin banyak untuk membuatnya senang.

b. Jika seseorang tidak mendapatkannya atau jumlah waktunya tidak sesuai maka dia akan beringas, mengamuk, atau bad mood

Sumber: http://www.webmd.com/mental-health/addiction/features/video-game-addiction-no-fun

Ciri-ciri khusus yang kecanduan video games:

a. Tidak berminat dengan pencapaian di sekolah atau di tempat kerja.

b. Memikirkan sesi game berikutnya jika sedang tidak bermain.

c. Kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang sebelumnya diminati.

d. Meremehkan bahaya kecanduannya, seperti "daripada kecanduan alkohol"

e. Mencari alasan pembenaran kecanduannya, seperti "orang lain main lebih lama dari saya"

f. Persepsi akan waktu terdistorsi, seperti tersadar belasan jam telah lewat padahal seperti baru satu jam.

g. Merasa bersalah jika tidak bisa bersama teman-teman onlinenya saat ada event khusus.

h. Merasa bersalah atau penyesalan ketika bermain game lebih dari waktu yang diniatkan.

i. Agresif terhadap siapa saja yang berusaha mengurangi atau membatasi waktu mainnya.

j. Makin sering bermain dan melupakan tanggung jawab lain yang lebih penting.

k. Makin buruk performance di sekolah dan di tempat kerja.

l. Langsung bermain ketika mendapat kesempatan, seperti pulang sekolah atau pulang kerja.

m. Ketidakmampuan untuk berhenti

n. Kadang-kadang mengalami game frenzy sampai lebih dari 10 jam non-stop.

o. Berbohong kepada orang lain tentang penggunaan waktu saat bermain game.

p. Menolak undangan karena akan mengurangi jatah bermain game.

q. Berkurangnya teman di dunia asli, dan bertambah di dunia maya.

r. Menyalahkan orang lain, seperti "aku mungkin akan main lebih sebentar jika kamu gak merepet".

s. Rumah tangga berantakan karena kebanyakan main.

Jadi kalau anda main Candy Crush dan mendapati gejala seperti di atas, maka berhati-hantilah karena anda sudah dekat kekecanduan.

Lebih lengkapnya bisa dibaca di http://www.techaddiction.ca/symptoms_of_video_game_addiction.html

Mengerikan bukan? Dan dibawah ini lebih mengerikan lagi.

4. Kasus Kematian Karena Video Games

a. Tahun 2007, seorang anak umur 16 tahun membunuh ayah dan ibunya dengan revolver milik sang ayah karena marah cd game Halo 3-nya disimpan. Ketika selesai membunuh, ia letakkan revolver tersebut di tangan ayahnya agar tampak seperti kasus pembunuhan dan bunuh diri.

b. Tahun 2013, seorang pemuda Taiwan umur 18 tahun mati karena penyumbatan darah saat main Diablo 3 non-stop 40 jam lamanya di warnet

c. Tahun 2005, seorang dari Korsel meninggal di warnet saat bermain Starcraft 50 jam non-stop.

d. Tahun 2004, anak berumur 17 tahun dari Inggris menusuk temannya berusia 14 tahun 50 kali sampai mati mengikuti adegan kematian di video game yang dimainkannya: Man Hunt.

e. Tahun 2013, bocah berumur 8 tahun dari Louisiana menembak neneknya yang berusia 87 tahun dibelakang kepala, karena menghentikanny dari bermain Grand Theft Auto.

f. Tahun 2014, anak berumur 16 tahun menusuk temannya yang berusia 11 tahun karena account DOTA 2-nya dihack oleh teman tersebut. Dia jedutkan kepala temannya berkali-kali di dinding kemudian menusuknya hingga 40 kali.

g. Tahun 2006, pria berumur 28 tahun membanting anak perempuannya berusia 17 bulan sampai mati karena merangkak dan menjatuhkan konsolnya sampai rusak saat bermain Ghost Recon.

h. Tahun 2014, anak perempuan berusia 12 tahun ditusuk dua kawannya berusia 12 dan 13 tahun dan mayatnya dibiarkan di hutan sebagai tumbal agar tidak dihantui oleh hantu yang ada dalam game mereka: Slenderman.

Sumber: http://www.deccanchronicle.com/150908/technology-latest/article/side-effects-deaths-due-caused-video-game-addiction

Yang paling menyedihkan adalah, tahun 2010 pasangan dari Korsel membiarkan bayi mereka yang lahir prematur kelaparan dan meninggal karena terobsesi membesarkan bayi virtual di dalam game Prius Online. Si laki-laki berumur 41 tahun dan si wanita berumur 25 tahun. Mereka sering pergi ke warnet untuk membesarkan bayi virtual, dan hanya pulang sesekali untuk memberikan susu bubuk ke bayi asli mereka. Suatu ketika mereka meninggalkan sang bayi 12 jam, dan ketika pulang ternyata telah meninggal. Autopsi mengatakan bayi tersebut mati karena malnutrisi. Sumber: https://www.theguardian.com/world/2010/mar/05/korean-girl-starved-online-game

Dan sayangnya masih banyak lagi, silahkan googling "video games related death".

5. Cara Berhenti Dari Video Games

Sesi ini untuk anda yang kecanduan game seperti saya, cuma satu yang bisa saya sarankan: BERHENTI TOTAL!  jangan ditipu diri sendiri dengan mengatakan: "aku akan kurangi jam main"atau "kalau aku sudah selesai tugas ini baru akan main". Jangan mencari alasan bahwa bahasa Inggris jadi hebat karena games atau tidak bermain wanita karena games. JANGAN! Kita lemah dihadapan video games, kita tidak berdaya, kita tidak akan pernah menjadi casual gamer karena game akan mengambil hidup kita. Jauhi game, bencilah dengan video games, hapuslah semua semua permainan anda, dan juallah konsol atau komputer anda. Hiduplah sebagai manusia sejati, yang menyelesaikan problem-problem mereka di dunia nyata. Jangan pernah lagi kembali ke dunia virtual, walau cuma game di Facebook, selamanya. 

Berikut adalah tulisan bagus yang disadur dari http://kingpinlifestyle.com/how-to-quit-playing-video-games/ (keseluruhan artikelnya sangat wajib untuk dibaca)

Video Games memberikan kita:
a. Tempat melarikan diri sementara.
b. Pertumbuhan yang konstan dan terus menerus (seperti jagoan yang naik level)
c. Tantangan
d. Sosial (untuk game online)

Maka kita perlu menemukan hobi yang dapat melengkapi itu semua ketika waktu kita kosong. Karena waktu kosong saat tidak bermain video game dan tidak memiliki aktifitas lain, akan menyebabkan kembali ke video games. Menurut si penulis, yang pertama harus dilakukan adalah berinteraksi sosial di luar. Jangan tetap di rumah, interaksi sosial di luar akan banyak membantu mengurangi keinginan kembali ke video games. Tetapi harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh.

Saya pribadi telah mendapatinya ketika bekerja dulu saat menekuni menembak, panahan, gym dan kendo. Sayangnya saya belum tau bahwa saya harus behenti total dari video games atau mengetahui bahwa saya kecanduan, kalau tidak sejak 8 tahun yang lalu mungkin saya tidak akan pernah lagi menyentuh video games. Saran saya kepada yang bingung mencari hobi, pergilah ke gym atau belajar bela diri, 4 hal di atas masuk semua, bahkan kita bisa dengan segera melihat pertumbuhan yang konstan, anggap seperti lagi main RPG.

Berikutnya 12 langkah Computer Gaming Addicts Anonymous yang diadopsi dari Alcoholic Anyonymous, yaitu sikap mental kita menghadapi video games.(artikel lengkap baca di: http://cgaa.info/the-twelve-steps/)

a. Kami mengakui bahwa kami tidak berdaya dengan kecanduan video games, dan karena itu hidup kami berantakan.

b. Kami percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada kami (Tuhan) yang bisa mengembalikan kami kepada jiwa yang sehat

c. Kami memutuskan untuk mengubah hidup kami dan keinginan kami dibawah penjagaan Tuhan.

d. Kami mencari dan tanpa ragu menghitung amal perbuatan diri kami sendiri.

e. Kami mengakui kepada diri kami sendiri, kepada orang lain, dan kepada Tuhan asal muasal kesalahan dalam sikap dan perbuatan kami.

f. Kami benar-benar siap agar Tuhan membersihkan kami sebersih-bersihnya dari cacat amal perbuatan ini.

g. Kami meminta dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan untuk menghilangkan kelemahan kami.

h. Kami telah membuat daftar siapa orang yang pernah kami sakiti, dan siap untuk mengganti rugi kepada mereka semua.

i. Kami akan mengganti rugi kepada mereka kecuali jika demikian akan melukai mereka atau orang lain.

j. Kami akan terus-terusan menghitung amalan kami dan ketika kami salah kami akan langsung mengakuinya.

k. Kami akan sering berdo'a untuk meningkatkan hubungan kami dengan Tuhan, meminta pertolongan terhadap apa yang harus kami lakukan dan kekuatan untuk melakukannya.

l. Setelah mendapatkan kebangkitan spiritual dalam menjalankan langkah-langkah ini, kami akan menyampaikannya ke pecandu game yang lain sambil selalu menjalani prinsip-prinsip ini dalam semua urusan kami.

Kemudian sangat perlu adanya kelompok yang sama-sama senasib dan sepenanggungan dan bisa saling mengingatkan, bisa ikut nimbrung di /stopgaming Reddit, atau boleh tulis pesan di halaman ini. Tapi jika anda juga internet addict, maka saya sarankan agar fokus di hobi saja, dan perbanyak sosial di dunia nyata.

Terakhir, harus bersungguh-sungguh. Jika masih setengah hati meninggalkan video games, pasti tidak akan berhasil. Keluarkan 100% kemampuanmu untuk tidak menyentuh video games selamanya.

6. Penutup

Semoga setelah tulisan ini muncul kesadaran nyata akan bahayanya video games. Jika anak balita anda sekarang lagi main tab, jangan malah berkata "eh jeng, anakku itu loh sekarang main taaab terus. Pinter banget ya, padahal saya sendiri saja gak ngerti cara pakenya", atau berkata "gak papa main game di rumah, daripada main diluar gak jelas", tapi katakanlah "innalillah!" dan jauhi tab tersebut dari jangkauan anak anda.

Untuk para pecandu yang ingin sembuh, semoga sukses. Semoga anda bisa melupakan keinginan menjalani kehidupan orang lain di dunia virtual dan mulai menjalani kehidupan sendiri. With thoughts and prayers.

Mukalla, Yemen 28 Juni 2017
whyyemen.blogspot.com

Comments

  1. Assalamualaikum, bagaimana menurut anda tentang atlet e-sport, yang menjadikan video games sebagai olahraga. Trimakasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waalaikumsalam.

      Justru ketika saya pertama kali googling "how to quit playing video games", membaca artikel yang ditulis oleh mantan atlet e-sport.

      Berlatih 4-8 jam sehari bermain Counter Strike secara team, kemudian berlatih lagi sendirian. Dia menganggap gaming adalah karir.

      http://kingpinlifestyle.com/how-to-quit-playing-video-games/

      Memang dapat duit kalau menang, tetapi apakah investasi waktu untuk menang e-sport lebih berharga daripada investasi waktu untuk menang di skill lain yang buka virtual? Jawabannya tergantung masing-masing.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Halo , saya senang sekali dapat kaya artikel beginian.

    Saya orangnya tidak religius (sorry)
    Tapi sy ingin curhat secara singkat

    Saya dulu kenal game dari sd kelas 1(ps1) tapi yah aku hitung di jaman sd ini Casual lah , its OK

    Masuk smp~sma , saya main game online secara HARDCORE , main game sampe 8~12jam sehari , kalo libur bisa sampe 18jam perhari . Di kelas 2 SMA saya di DO karna sering bolos, satu tahun saya ga sekolah jadi berakibat kurang bersosialisasi terus berdampak dengan skill sosialku , takut bertemu orang dan tidak bisa berbicara dengan orang

    Dan yg parahnya lagi setelah lulus SMA saya NGANGGUR SATU TAHUN GA KULIAH ! Makin parah aja keadaanku , makin ga bisa bersosialisasi .

    Dari dampak ga bisa bersosialisasi, saya sangat susah mencari kerja :'( ....

    Sekarang saya semester 4 umur 21thn , di pertengahan 2017 saya sudah ambil inisyatif buat tidak menyentuh GAME ONLINE walaupun saya masih main game offline sih (setelah tamat BoF123 dan The legend of heroes saya akan berjanji STOP main game baik offline maupun online) .
    Dan yg saya sering bingungin bagaimana memanfaatkan waktu kosong ? Plis jangan kasi jawaban 'belajar' ....

    Ok , sekian curhat singkatku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komennya, dan maaf banget klo saya baru reply sekarang, notifikasi di email saya tenggelam.

      Yang bisa saya saranin  adalah yg pernah saya coba seperti travelling sendirian. Dulu saya pernah travelling sendirian di Bali selama 10 hari, sewa skuter. Setiap hari ganti2 pemandangan naik skuter ke paling barat pulau, besoknya ke paling utara, besoknya lagi ke paling timur, masuk ke pelosok2 desa, naik ke jalanan aspal paling ujung di Gunung Agung, kemudian turun meluncur tanpa hidupin mesin. Sekalian d sana kamu bs latihan ajak ngmong orang2 bule, kan mereka suasananya lagi suasana liburan jadi kmungkinan besar ramah. Karena travelling saya terlalu capek ketika pulang ke hotel untuk main game, padahal sudah bawa NDS. Memang travelling ini bkn utk mengisi waktu kosong setiap hari, tetapi bisa untuk pembuka hati bahwa dunia itu terlalu indah untuk dighabiskan waktu bermain game.

      Yg kedua, yg pernah saya coba juga adalah ikut panahan atau menembak. Selama ini kita main sebagai jagoan yang memegang panah atau pakai senjata, kenapa gak kita yang jadi jagoan itu? Anggap kamu adalah "archer/ranger" beneran seperti di game2 petualangan. Dulu waktu saya kerja di Jakarta saya pernah ikut Kendo  di Jakarta Japanese School, kemudian latihan nembak di Blok M, terakhir latihan panahan di Senayan. Sabtu Minggu saya dengan senang hati beranjak dari sofa dan meninggalkan ruangan ber-AC, PS 3 dan TV flat screen 42 inch untuk naik bus menuju tempat2 tersebut. Dari artikel yg saya baca, gamer bakal lebih suka kegiatan yang seperti ini juga bela diri. Bela diri yang gk perlu sampai ngos-ngosan atau badan lebam2 adalah Aikido dan saya juga menggelutinya dulu (sambil berkhayal bahwa saya adalah monk D&D). Kegiatan ini bisa mengurangi keinginan main game. Dan sampe sekarang, rasa rindu yang paling besar ketika mengingat masa2 kerja dulu adalah panahan dan menembak.

      Itu mungkin sebagian kecil kegiatan untuk mengisi waktu kosong. Yang penting game jangan disentuh lagi sama sekali. Game bagi kita sebagaimana narkotika. Kita lemah dihadapan game, dan pasti kalah. Satu2nya cara adalah meninggalkannya 100%

       

      Akhir kata semoga kamu berhasil lepas dari jeratan game dan bisa menikmati dunia nyata dengan sebenar-benarnya.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Living in Yemen: The People

I've stated briefly in my previous post  what is like living in Yemen  that the Yemenis are hospitable people. In this post I'm going to talk great length about it and also my experience with them. As an Indonesian, born and raised in Indonesia, we have always taught that we are very kind and hospitable. When someone in trouble we're going to help, it's okay to talk with stranger, always say the three magic words, friendly with our neighbors and so on. I know and believe that we are kind people, but comparing to Yemeni I'll say that we still have a long way to go. Below I list the trait of Yemenis as I have observed and have day to day interaction with them. There are some differences between the Yemenis who live in the north and the ones that live in the south. I will also list some of the annoyances too. Good traits: 1. HUMBLE  I think I should put this on top of the list even though my list isn't intended to rate which one is better. It just that the

Why I Moved to Yemen

It was a big question in my big family, even now it's still hard for them to fully accept why. I was working as an area manager in East Borneo for a national NGO in Indonesia. I had a wife and two children, I had a car and a house. My life was good, secure and normal, so why - as my father said - throw it all away for something that is unknown. When my brother was getting married, my big families were invited and I knew that there would be a judgement day for my decision, and I wasn't wrong. All the family members were questioning my decision, at that time my parents already gave up and asked them to help sway my decision away. One of my uncle told me why would I go to a violent place like Yemen in a mocking gesture, so I answered him back in a stoical gesture "Because it's a faith". I knew the answer will incite more mocking, of which I deliberately chose. So my uncle said, "that is not an intellectual answer!". So I said to him, in front of al